Marah yang terpuji adalah apabila marah itu bersumber dari Allah subhanahu Ta’ala, seperti marah karena Allah terhadap musuh-musuhNya dari golongan Yahudi dan orang-orang sepertinya, baik orang-orang kafir dan munafik. Marah yang terpuji jika motivasinya karena Allah tatkala aturan-aturan Allah dihinakan, marah yang terpuji adalah marah yang bisa dikendalikan oleh pelakunya secara santun. [Adab Ad-Dunnya wa Ad Din hal. 250].

Senin, 19 April 2010

Kebenaran disalahkan by Abu Silma

Satu kesempatan seorang ustad dengan baju kokonya yang rapi duduk bersila menghadap santri-santrinya untuk mengajar mereka. Di tangan kanannya dia membawa bolpoin, dan ditangan kirinya dia membawa penggaris. Kemudian sang ustad memerintahkan kepada santrinya jika ustad mengangkat tangan kanan maka semua santri harus berteriak "bolpoin !!!", dan jika ustad mengangkat tangan kiri maka semua santri harus berteriak "penggaris!!!". Selanjutnya ustad tersebut mempraktekkan instruksinya. Dengan lantang dan mantapnya semua santri melaksanakan instruksi dari ustadnya, dan tidak ada satupun santri yang melakukan kesalahan.
Kemudian sang ustad memberikan instruksi yang baru, jika ustad mengangkat tangan kiri yang membawa penggaris maka semua santri harus berteriak "bolpoin!!!", sedangkan jika ustad mengangkat tangan kanan yang membawa bolpoin maka semua santri harus berteriak "penggaris!!!". Instruksi pun dilaksanakan, pada awalnya masih ada satu atau dua santri yang keliru. Namun, lambat laun para santri menjadi terbiasa dan tidak ada satupun santri yang melakukan kesalahan.
Perlu kita ketahui bahwa antara haq dan batil tidak akan pernah bisa bersatu, dan permusuhan antara islam dengan non islam yang kini dipromotori oleh barat tidak akan pernah berhenti. Upaya barat dalam merongrong eksistensi islam tidak hanya dengan peperangan fisik, namun juga merambah sampai alam pemikiran, atau bisa disebut dengan ghozwul fikr.
Sedikit ilustrasi diatas sebagai gambaran makin merosotnya alam pemikiran umat islam pada saat ini secara khusus dan mayoritas manusia pada umumnya. Dari contoh yang kami paparkan diatas ada satu kesimpulan yang dapat kita ambil bahwasanya pengkaburan makna yang akhirnya menimbulkan dampak yang fatal dapat terjadi pada tubuh umat ini. Yang haq dikatakan batil atau sebaliknya yang batil dikatakan haq. Yang benar dijauhi, dicemooh dan dibenci. Sedangkan yang keliru justru didekati, dipuji, dibela, disanjung-sanjung dan disenangi.
Satu contoh fakta yang dapat kita ambil, sebagaimana yang telah terjadi beberapa waktu lalu ketika seorang da'i kondang dan terkenal K. H. Abdullah Gymnastiar melaksanakan salah satu sunnah nabi yaitu poligami serta merta ada yang menghujat walaupun ada juga yang memberikan kata selamat. Ini salah satu contoh dari sekian banyak contoh yang ada, sebagai bukti mulai kaburnya nilai kebenaran dalam tubuh umat ini.
Sungguh ironis memang jika ternyata umat islam saat ini banyak kuantitasnya namun rendah kualitasnya, semua itu adalah hasil usaha musuh islam untuk menjatuhkan dienul islam. Ghozwul fikri merupakan salah satu senjata yang digunakan oleh barat untuk menghancurkan umat islam. Berbicara tentang ghozwul fikri maka kita tidak akan bisa terlepas dari sejarah perang salib, sebuah perang panjang antara umat Islam dan Nasrani yang memakan waktu tidak kurang dari 2 abad terdiri dari tujuh gelombang.Pemicunya adalah seruan Kaisar Alexius Comenent dari Konstantinopel kepada Paus Urbanus II dan para raja di Eropa agar menyerang negeri-negeri Islam secara serentak terhadap kekuasaan Turki Seljuk (orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam) yang mengancam kerajaan Byzantium di Konstantinopel.Yang kedua adalah permintaan Peter Aimens,seorang pendeta bangsa Perancis kepada Paus di Roma agar membantu orang-orang Kristen yang mau berziarah ke Baitul Maqdis (Palestina) yang saat itu dikuasai oleh orang-orang Islam. Dua dorongan tersebut di atas, menyebabkan Paus Urbanus II memerintahkan Peter Amiens untuk menghasut dan mengobarkan perang kepada rakyat Eropa untuk memerangi kaum muslim guna merebut Baitul Maqdis.Dan akhirnya genderang perang salib pun ditabuh pada 15 Agustus 1096 M .
Dalam peperangan tersebut kaum palangis menderita kekalahan sehingga mereka mengambil jalan lain dengan melakukan perang pemikiran. Hal ini justru lebih berbahaya dibandingkan dengan perang fisik. Karena dalam perang ini kaum muslimin tidak merasa bahwa dirinya sedang dimusuhi, bahkan mungkin sebaliknya. Mereka merasa bahwa kelompok yang seharusnya dimusuhi dianggap sebagai penyelamat atau pengayom. Sehingga dampaknya akan lebih parah lagi jika akhirnya umat muslim menggantungkan hidupnya kepada musuhnya, lawan pun dirangkul dan kawan didengkul.
Ada beberapa strategi yang digunakan untuk merealisaikan perang pemikiran ini. Pertama, Tasykik (Pendangkalan/peraguan). Gerakan yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan kaum Muslimin terhadap Agamanya. Contohnya seperti berbagai macam pendapat nyeleneh tentang pluralisme,liberalisme yang ditebarkan para orientalis dan kaki tangan mereka lewat media cetak dan elektronik berhasil menyita perhatian kaum muslimin dan mengeruk sebagian besar potensinya, baik untuk melakukan kajian, bantahan dan pelurusan. Seperti pernyataan Abdul Muqsith yang membuat qoidah ushul fiqih kontemporer katanya, yaitu al-‘Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz dan Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah dan juga Tanqih al-Nushush bi al-‘Aql al-Mujtama’. Kaidah-kaidah tadi bermakna bahwa maslahat lebih dikedepankan jika terjadi pertentangan antara nash dengan maslahat, dan standar maslahat dibentuk berdasarkan pemikiran manusia .
Kedua, Tasywih (Pencemaran/Pelecehan). Upaya kaum kafir untuk menghilangkan kebanggaan kaum Muslimin terhadap Islam dengan menggambarkan Islam secara buruk.Contohnya adalah penggambaran Rasululah sebagai sosok teroris, banyak istri (suka kawin) dll. Sebagaimana yang kita dengar ketika marak pengeboman di Indonesia.
Ketiga, Tadhil (Penyesatan). Upaya orang kafir menyesatkan umat mulai dari cara yang halus sampai cara yg kasar.Cara yang halus misalkan pemberian bantuan beasiswa, pelayanan sosial, pelayanan kesehatan yang di dalamnya diselipkan misi-misi pemurtadan. Sedangkan cara yang kasar seperti pacarisasi, hamilisasi (memacari atau menghamili wanita Islam kemudian memurtadkan) .
Keempat, Taghrib (Pembaratan/westernisasi/Kafirinisasi). Gerakan yang sasarannya untuk mengeliminasi Islam. Mendorong kaum Muslimin agar mau menerima seluruh pemikiran dan perilaku orang kafir.Contohnya adalah budaya Valentine, Halloween, perayaan tahun baru dll .
Sedemikian kompleknya usaha yang dilakukan oleh musuh islam untuk menghancurkan islam, maka hendaklah kita selalu waspada dan membekali diri dengan ilmu. Dan tentunya berusaha dengan segala daya upaya untuk membendungnya. Jika mereka gigih membela yang batil, lalu mengapa kita tidak lebih bersemangat untuk membela yang haq.

referensi:
http://faris167.wordpress.com/2009/11/08/ghozwul-fikri/24/12/2009_14:56 wib
Lihat http://islamlib.com/id/artikel/membangun-ushul-fikih-alternatif/24/12/2009_15: 16 wib
http://faris167.wordpress.com/2009/11/08/ghozwul-fikri/24/12/2009
Ibid_15:23 wib
Ibid_15:24 wib
Selengkapnya...

Kegagalan Islam Liberal dalam Memahami Ijtihad

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Salawat lagi salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan teladan terbaik bagi kemanusiaan, para sahabatnya dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Berikut ini adalah beberapa catatan penting tentang hakekat dan bahaya Islam Liberal yang kami himpun dari pengakuan mereka sendiri tentang ke-liberalan ajaran mereka. Kami akan menukil ucapan mereka kemudian mengomentarinya seperlunya, demi menjelaskan letak kekeliruan dan penyimpangan mereka dari shirathal mustaqim. Wallahul muwaffiq!

Mereka mengatakan, “Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).” (Tentang Jaringan Islam Liberal)

Pertama: JIL Gagal mendefinisikan ijtihad

Pembaca sekalian, kita perlu mencermati kesalahpahaman mereka dengan sabar. Pertama, mereka mendefinisikan ijtihad sebagai ‘penalaran rasional atas teks-teks keislaman’. Gambaran mereka tentang ijtihad rupanya tidak sempurna. Bandingkanlah pengertian yang mereka ajukan dengan pengertian para ulama. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani memaparkan, bahwa ijtihad secara terminologi adalah ‘mengerahkan segala kemampuan dalam rangka mengkaji dalil-dalil syari’at dengan tujuan menarik kesimpulan hukum syari’at’ (lihat Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 464 cet. Dar Ibnul Jauzi).

Pengertian ijtihad versi para ulama ini lebih sopan dan lebih lengkap daripada pengertian ijtihad versi mereka. Hal itu dikarenakan pemaknaan ijtihad sebagai ‘penalaran rasional atas teks-teks keislaman’ mengandung indikasi pengagungan rasio di atas wahyu, bahkan merendahkan posisi wahyu hanya sebagai teks yang ‘bisu’ dan perlu ditundukkan kepada rasio. Padahal, sebagaimana kita pahami bersama bahwa standar kebenaran dalam Islam bukanlah rasio akan tetapi wahyu al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun akal atau rasio hanyalah sekedar alat untuk memahami, bukan standar atau pedoman untuk menghukumi.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu pendapat wajib diikuti dalam segala keadaan kecuali Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun segala sesuatu selain keduanya harus mengikuti keduanya.” (Jima’ al-‘Ilm hal. 11, sebagaimana tertera dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 68). Ucapan beliau ini benar-benar dibangun di atas kepahaman terhadap ajaran Islam, pokok maupun cabang-cabangnya. Hal itu selaras dengan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (as-Sunnah)…” (QS. an-Nisaa’: 59). Oleh sebab itu Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya as-Sunnah dan al-Qur’an keduanya merupakan sumber pendapat akal/rasio dan standar baginya. Bukanlah rasio yang menjadi standar/timbangan yang menghakimi as-Sunnah. Akan tetapi as-Sunnah itulah yang menjadi standar yang menghakimi rasio.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, [2/173] sebagaimana tertera dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 73).

Inilah satu bukti nyata atas kegagalan Islam Liberal (untuk selanjutnya kami sebut dengan JIL) dalam memaknai ijtihad dan perendahan mereka terhadap sumber hukum agama Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

Kedua: JIL Gagal memahami dalil syari’at

Kesalahpahaman berikutnya ternyata muncul dari kesalahpahaman yang pertama. Mereka menganggap bahwa penalaran rasional itulah yang akan ‘mempertahankan Islam di segala cuaca’. Itu tidak lain karena dalam pandangan JIL rasio adalah standar yang menghakimi teks atau dalil yang ada (mereka enggan memakai istilah dalil, pen). Sehingga ketika akal mereka tidak bisa menangkap maksud teks dalam konteks kekinian maka dengan mudahnya mereka akan mengubah kandungannya agar lebih sesuai dengan akal –versi mereka-, demikianlah yang mereka inginkan. Tindakan semacam ini tentu saja termasuk kejahatan kepada wahyu itu sendiri sebagaimana perilaku sebagian dari Ahli Kitab yang menyelewengkan ayat-ayat Kitab Suci mereka.

Sederhananya, ketika apa yang ditunjukkan oleh dalil tidak sesuai dengan hawa nafsunya maka merekapun menyimpangkan makna dalil itu agar selaras dan sejalan dengan hawa nafsunya. Tidakkah kita ingat firman dan teguran Allah di dalam ayat-Nya (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara ternyata masih ada alternatif pilihan lain dalam urusan mereka. Barang siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan amat sangat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

Ketiga: JIL Gagal memahami sikap para ulama

Kesalahpahaman ketiga, JIL mengesankan kepada umat bahwa pintu ijtihad sekarang ini telah ditutup oleh para ulama. Padahal tidak demikian yang sebenarnya. Mengapa mereka menciptakan kesan demikian? Sebab dalam persepsi mereka hakekat dan ruh dari ijtihad itu adalah menjadikan akal/rasio sebagai hakim atas dalil-dalil al-Kitab maupun as-Sunnah, sebagaimana yang telah diterangkan di depan. Kalau itu yang mereka maksud dengan ijtihad, maka memang tidak salah jika para ulama menutup pintu ijtihad bagi orang-orang seperti mereka. Sebab ijtihad yang mereka lakukan tergolong ijtihad yang fasid/tidak sah. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani berkata, “Ijtihad yang fasid itu adalah yang muncul dari orang yang tidak paham tentang al-Kitab dan as-Sunnah serta bahasa Arab, yaitu orang yang pada dirinya tidak terpenuhi syarat-syarat berijtihad, atau bisa juga muncul dari seorang mujtahid yang layak untuk berijtihad namun bukan pada tempatnya yaitu dalam perkara-perkara yang tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 470)

Keempat: JIL Gagal memahami kaidah ijtihad

Kesalahpahaman keempat, JIL tidak memahami kaidah ijtihad. Hal itu tampak dari ucapan mereka, “Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).” Sesungguhnya ijtihad memiliki batasan-batasan, tidak semua persoalan agama boleh menjadi lahan ijtihad. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani menjelaskan ijtihad itu diperbolehkan dalam empat keadaan, secara global sbb:

1. Dalam suatu perkara yang tidak ada dalil tegas atasnya dan bukan sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama
2. Di dalam dalil tersebut memang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran/ta’wil yang tidak dipaksakan
3. Perkara yang menjadi lahan ijtihad bukan tergolong permasalahan aqidah
4. Perkara yang menjadi lahan ijtihad tergolong masalah baru (nawazil) yang baru terjadi di masa kini dan belum pernah terjadi di masa silam, atau dalam perkara yang secara umum bisa saja terjadi -tapi belum terjadi- sedangkan kebutuhan atasnya sangat mendesak (lihat lebih luas dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 475-478)

Semoga para pemuda dan cendekiawan tidak terpengaruh oleh kesalahpahaman yang disebarkan oleh JIL dan kawan-kawannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id
Selengkapnya...